RESOLUSI JIHAD SEBAGAI PERJUANGAN SANTRI

Hari Santri Nasional (HSN) Merupakan sebuah hari dimana para santri sangat antusias untuk memperingati hari teraebut setiap tanggal 22. Pasalnya HSN adalah keputusan yang di tetapkan  oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 pada 15 Oktober 2015 lalu, yang merupakan sebuah perjuangan para santri dan ulama pesantren dalam upaya untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Keputusan ini menunjukkan bahwa Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 bukanlah akhir dari perjuangan. Justru perjuangan makin tidak mudah ketika bangsa Indonesia harus menegakkan kemerdekaan karena upaya kolonialisme masih tetap ada. Ulama pesantren sudah menyiapkan jauh-jauh hari untuk mengantisipasi apabila adanya perang senjata saat Jepang menyerah kepada Sekutu (Ahmad 2019).

Resolusi Jihad adalah sebuah peristiwa penting yang merupakan satu dari sekian banyak rangkaian sejarah perjuangan Bangsa Indonesia melawan penjajah. Lalu bagaimana bisa dikatakan hal yang penting, karena pada masa itu, PBNU yang mengundang tokoh-tokoh penting NU di seluruh Jawa dan Madura yang hadir pada tanggal 21 Oktober 1945 di kantor PB ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) tepatnya di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya, berdasarkan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya yang dikemukakan oleh Rais Akbar saat itu, KH Hasyim Asy’ari, dalam rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah, menetapkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”, di dalam nya berisi: “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…” (Sunyoto 2016).

Kata jihad terdapat dengan berbagai variasi kata kerja di dalam al-Qur’an, seperti jaahada-yujaahidu jihaadan yang bermakna kesungguhan dan usaha. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Athaillah As sakandari di dalam Al Hikam, ketika beliau mengutip surat Al Ankabut ayat 69 yang artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." 

Adapun kata yang lain dari jihad yakni Al-qital yang berasal kata dari huruf (qaf, ta', lam) ق- ت-ل dalam Mu‘jam Maqayis Al-Lughah memiliki makna yang menunjukkan kepada hal menghina, membunuh. Term Al-qital sendiri berasal dari akar kata قتل- يقتل yang bermakna membunuh, melaknat, dan mengutuk. Sedangkan Qatala berarti memerangi, memusuhi dan berkelahi. Dalam al-Qur’an, term Al-qital dengan berbagai derivasinya terulang sebanyak 67 kali yang kesemuanya mengarah kepada makna perang. Pengungkapan ini pada umumnya disertai dengan ungkapan fi sabilillah, hal yang sama dalam pengungkapan term jihad. Penyertaan ungkapan fi sabilillah merupakan kriteria jihad yang dianjurkan agama, olehnya perintah jihad sering pula diikuti dengan janji-janji balasan pahala. Ayat-ayat jihad yang menggunakan terma Al-qital dalam Al-Qur’an semuanya diturunkan pada periode Madinah. Hal ini menggambarkan dan membuktikan bahwa penggunaan term Al-qital dalam konteks jihad khusus untuk menyatakan jihad dalam pengertian perang di jalan Allah melawan kaum kafir baru terjadi pada periode Madinah. Dengan term Al-qital ini pula dapat dijelaskan timing jihad dalam bentuk perang fisik mulai diperintahkan dan diizinkan sebagai perintah agama.

 Resolusi Jihad sendiri muncul karena pada saat itu, Presiden Soekarno meminta fatwa kepada KH Hasyim Asy’ari. Apa yang harus dilakukan warga Negara Indonesia kalau diserang musuh mengingat Belanda ingin kembali untuk menguasai. Bung Karno juga menyatakan bagaimana cara agar Negara Indonesia diakui dunia. Sejak diproklamasikan 17 Agustus dan dibentuk 18 Agustus, tidak ada satupun negara di dunia yang mau mengakui. Oleh dunia sendiri, Indonesia diberitakan sebagai Negara boneka buatan Jepang, bukan atas kehendak rakyat. Artinya, Indonesia disebut sebagai negara yang tidak dibela rakyat. Pada akhirnya fatwa dan Resolusi Jihad lalu dimunculkan oleh KH Hasyim Asy’ari.

Putusan-putusan Resolusi Jihad yang telah diterapkan NU dalam rangka menjaga daerah kekuasaannya dalam kasus Resolusi Jihad ini adalah Indonesia. Bagi Nahdlatul Ulama’ sendiri, Belanda dan Jepang bukan lagi pemegang kekuasaan yang sah di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Kedatangan Belanda yang membonceng kekuatan sekutu dianggap sebagai agresi yang menentang kekuasaan muslim yang sah, yaitu pemerintahan Republik Indonesia. Maka tidak ada pilihan lain bagi NU selain berjihad, memerangi musuh yang hendak merampas tanah airnya apapun taruhannya (Bustami 2015).

Menurut KH. Hasyim Asy’ari, jihad sendiri merupakan satu amalan besar dan penting dalam Islam dengan keutamaannya yang sangat banyak sekali, hal ini tentunya menjadi kewajiban seorang muslim untuk melaksanakan jihad itu apabila suatu saat diserang oleh orang kafir atau musuh. Oleh karena itu menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam konteks melawan penjajah Belanda, memberikan fatwa berupa Resolusi Jihad mempertahankan tanah air Indonesia hukumnya wajib atas seluruh orang yang berada di wilayah negara Indonesia yang diserang musuh penjajah kafir Belanda (Farih 2016).

Oleh: M. Abu Karim
Penyunting: Luthfi Mar'atul 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diklat Dan Raker Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir Periode 2023-2024

"TERWUJUDNYA HERMENEUTIKA, SEBAGAI PENAFSIRAN YANG MEMBERI PANDANGAN LEBIH BESAR"

HERMENEUTIKA (Sejarah, Aliran- Aliran, dan Tokoh-tokoh Hermeneutika)