HERMENEUTIKA (Sejarah, Aliran- Aliran, dan Tokoh-tokoh Hermeneutika)
A. SEJARAH LAHIRNYA HERMENEUTIKA
Perspektif manusia tentang hermeneutika yang dikatakan sebagai
metode penafsiran Bibble, sepertinya sudah melekat dalam pikiran hampir
diseluruh diri manusia pada umumnya dan khususnya para pengkaji Hermeneutika.
Namun dalam beberapa literatur karya tokoh hermeneutika seperti Prof. Dr .Phil.
M. Sahiron , MA. Dipaparkan, bahwasanya hermeneutika telah ada sejak zaman
Yunani kuno, kemudian seiiring dengan berkembangnya zaman, lahirlah tokoh-
tokoh penting hermeneutika beserta pemikirannya. Untuk mengetahui lebih lanjut
terkait sejarah, aliran, dan bentuk pengiplikasian sederhana dalam penafsiran
ayat al-Qur’an. Sejarah perkembangan hermeneutika dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu :
1) Hermeunetika Mitos Berangkat dari pemikiran para filsuf Yunani
klasik seperti Aritoteles. Dijelaskan bahwasannya buku Aristoteles yang
berjudul Organon. Dimana dalam buku ini dijumpai beberapa istilah yang
berkaitan dengan ilmu hermeunetika. Seperti kosakata literal dan metaforis
(makna batin).
2) Hermeunetika Kitab Suci
Kitab suci disini adalah al- Kitab Bible. Pasca Salah satu bukti yang
menunjukkan bahwa hermeunetika telah ada sejak zaman ulama salaf adalah adanya
kalam yang tertuang dalam kitab al- Burhan fi Ulum al- Qur’an yang artinya ‘’
setiap kata dalam al- Qur’an memuat empat aspek yaitu, Dhohir: Jelas, Bathin
(Metafor), Haad: Moral , dan Maqtho’: Spiritual”. Keempat aspek diatas ternyata
memiliki kesamaan dengan kalam seorang filsuf Yunani. Sehingga dari sinilah
muncul dugaan jika hermeunetika sudah ada sejak zaman ulama salaf. hermeneutika
menjadikan sebagai bahan metodologis untuk menganalisis mitos. Para ilmuwan
barat mencoba menggunakan hermeneutika untuk menganalisis teks-teks keagamaan,
salah satunya adalah kitab Bible.
3) Hermeunetika Umum Terkait hermeneutika umum. Maksudnya, analisis
hermeunetika tidak hanya digunakan untuk menganalisis mitos maupun teks- teks
keagamaan. Namun seiiring dengan majunya peradaban, hermeneutika juga
dimanfaatkan untuk menganalisa teks- teks hadist, teks- teks puisi, lagu dan
teks lainnya. Hermenetika umum yang ditinjau dari sisi pemaknaan hermenetika
memiliki tiga aliran,yaitu : Pertama aliran objektivis atau biasa dikenal
dengan aliran romantism aliran ini mempunyai pandangan seorang mufassir
menyampaikan Apa yang dimaksud oleh mushonifnya atau pengarang kitab bisa
dikatakan menguak kembali Authorial intention atau murodhul mushanif. Benar
atau tidak pernyataan atau penafsiran seorang mufassir Menurut aliran ini,
kebenaran penafsiran adalah diukur dari sesuai atau tidaknya penafsiran
tersebut dengan apa yang dimaksud oleh seorang pengarang kitab. Kedua
subjektivis. mushanif adalah Aliran ini atau aliran lebih menekankan pada
seorang mufassir dalam menafsirkan atau menekan peran mufassir , aliran ini
kebalikan dari aliran objektivis. Benar atau tidaknya penafsiran menurut aliran
ini adalah diukur dari pemanfaatan suatu penafsiran untuk masyarakat pada zaman
sekarang. Ketiga, adalah aliran merupakan gabungan dari aliran objetivis dengan
subjektivis. Yaitu, menyampaikan kembali apa yang dimaksud oleh mushanif teks
dengan tetap memperhatikan bagaimana mufassir menafsirkan kembali teks- teks
agama dan penggunaannya untuk masa kini.
B.
TOKOH- TOKOH HERMEUNETIKA
Dalam tulisan ini penulis membagi tokoh- tokoh hemeunetika berdasar pada aliran- aliran yang mempengaruhinya. Diantara tokoh- tokoh nya adalah sebagai berikut:
1. Friedrich Scheilermacher (1768-1863) Tokoh ilmuwan Barat yang mendukung aliran hermeunetika objektivis. Menurutnya, semua teks memiliki makna. Aliran objektivis menurut Scheilermacher perlu dikaji dengan dua pendekatan. Yaitu: Pendekatan Gramatikal, dan Pendekatan Psikologikal (non gramatikal).
a) Pendekatan Gramatikal Menurut Scheilermacher ada tiga aspek pokok yang perlu diperhatikan, dalam melakukan analisis dengan pendekatan ini, Yaitu: Objektivis Cum Subjektivis. Aliran ini 1) Mufassir harus memahami area bahasa Mushanif. 2) Mufassir analisa (Polisemi). memahami Sintagmatic 3) Memahami keseluruhan bagian- bagian ayat. Paham dengan relasi Kulliyat denga Juz’iyyatnya.
b) Pendekatan non Gramatikal Dalam pendekatan ini, scheilermacher menggunakan analisis sosial. Terdapat dua asepek yang perlu diperhatikan dalam pendekatan dianataranya: 1) Mufassir ini, melebur (Nacherleben) dengan Mushanif teks. (Muncul pro kontra terkait hal ini, karena dirasa sangat mustahil untuk membayangkan dan merasakan apa yang terjadi saat sebuah teks ditulis) 2) Menyelami makna kata dengan memperhatikan konteks sejarah yang berlaku disaat turun.
2. Paul Ricoeur (1913- 2005) teks Paul Ricoeur adalah salah satu tokoh hermeneutika asal Perancis yang dipengaruhi dengan aliran subjektivis. Salah satu statement terkenal dari Paul adalah “setiap kalimat adalah metafor’’, dan ‘’ setiap teks yang kita kaji adalah otonom”. Menurutnya, beberapa diperlukan tahapan menafsirkan sebuah Diantaranya yakni: untuk teks. a) Guessing, menebak dan menganalisa sebuah kata dengan pendekatan linguistic. b) Understanding, melengakapi metafor dengan banyak aspek. Pendalaman pernyataan yang multi tafsir. c) Application, mengaplikasikan teks dalam kehidupan sehari- hari dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi. 3. Hans Georg Gadamer (1900) Seorang filsuf Jerman dilahirkan di Marburg pada tahun 1900. Hans Gadamer adalah salah satu tokoh penentang teori psikologi Scheilermacher yang menyatakan, untuk menemukan memahami sebuah makna dalam sebuah kata, perlu untuk menyatukan diri (wahdatul wujud) dengan mushanif teks. Menurut Gadamer hal ini sangatlah mustahil untuk dilakukan. Teori Hans Gadamer salah satunya adalah tidak menekankan Authorial Intention serta sebagai bentuk penolakan teori nacherleben, beliau mengeluarkan sebuah teori, dengan melakukan penggabungan horizon. Horizon disini adalah sudut pandang. Sehingga dapat dikatakan bahwa penggabungan horizon adalah penggabungan sudut pandang mufassir dengan sudut pandang mushanif, sehingga akan menghasilkan fusi, dapat dikatakan sebagai sebuah pengertian baru, yang merupakan hasil penggabungan dua horizon yang berlawanan.
C.
CONTOH PENAFSIRAN DENGAN METODE HERMEUNETIKA
Salah satu pengimplikasian ilmu hermeneutika adalah sebagai berikut:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
(Qs. Al-Ahzab ayat 40)
Ayat
diatas berkenaan dengan fatwa MUI yang menjadikan ayat diatas sebagai landasan
dalam fatwanya yang melarang Gerakan Ahmadiyyah yang mereka meyakini Mirza
Ghulam sebagai nabi terakhir. Dalam tulisan ini penulis menggunakan pendekatan
Scheilermacher, yaitu melalui dua pendekatan.
-
Pendekatan Psikologis
Pada
pendekatan ini, menggunakan asbab an- nuzul sebagai salah satu aspek
analisisnya. Diketetahui ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa pernikahan
Zainab Bint Jahsy dengan Rasulullah. Pada mulanya, Zainab adalah mantan istri
dari Zaid Bin Haritsah beliau adalah anak angkat nabi. Ayat ini turun pada
tahun 5H, bersamaan dengan terjadinya perang Khandaq. Dalam konteks kebudayaan
arab, anak angkat memiliki derajat sama dengan anak kandung. Pernikahan nabi
dengan Zainab yang merupakan mantan istri Zaid menimbulkan pembicaraan
dikalangan Masyarakat arab kala itu. Menurut mereka terkesan kurang etis
seorang ayah menikahi bekas menantunya.
-
Pendekatan Gramatikal
Kemudian
turun ayat ini yang menjelaskan bahwa nabi itu Istimewa sehingga,
apapun yang dilakukan nabi pada hakekatnya adalah perintah Allah termasuk salah
satunya adalah pernikahan beliau dengan Zainab. Seolah ayat ini turun sebagai
bentuk penghibur bagi nabi. Kemudia dari segi gramatikalnya. Aspek qira’at
menjadi salah satu tinjauan analisis secara bahasa. Menyoroti lafadz (خاتم) yang dimaknai mayoritas ummat islam
sebagai penutup, namun ternyata terdapat perbedaan qira’at terkait
lafadz ini. Menurut jumhur qira’at yang sesuai adalah (خاتم) sedangkan imam hafs menggunakana lafadz (خاتم). Dalam kamus pengunaan lafadz (خاتم)
diartikan dengan penutup dan lafadz (خاتم)
diartikan dengan Istimewa. Sehingga dari pernyataan diatas MUI menggunakan
qira’at hafs namun memaknainya dengan menukar makna Istimewa dengan penutup,
seolah- olah MUI memaksakan sesuatu untuk kepentingannya sendiri. Namun
argument ini akan lemah karena fakta yang menyebutkan bahwa pemaknaan lafadz (خاتم) pada masa quranic dimaknai istimewa (nabi
sebagai nabi istimewa), namun dimasa pasca quranic lafadz (خاتم) dimaknai penutup (nabi sebagai nabi
terakhir).
Wallahu
A’lam Bis Showwab.
Penulis : Laila Nur Adhiima & Nadhirotun Nafi’ah
Komentar