Manusia yang Merencanakan, Tuhan yang Menentukan


Oleh Moh. Munib Zuhdi

     Fakta dan realita kebiasaan atau adat yang dilakukan manusia untuk mendapatkan apa yang ia inginkan sudah menjadi hal yang lumrah mulai dari hal yang kecil hingga yang besar. Tak berhenti hanya di situ, bahkan hasrat keinginan tersebut dapat melampaui batas kemampuan manusia sendiri, sehingga tak jarang ia melupakan kesehatan jasmani dan rohani, yang mengakibatkan akal bisa menjadi depresi atas ketidakmampuan manusia untuk mencapai keinginan tersebut. Doktrin-doktrin itulah yang disandarkan oleh manusia sebagai hal yang terbilang cukup untuk dedikasi yang sempurna.

     Manusia memiliki orientasi memaksa sesuatu yang memang bukan wilayahnya, aspirasi yang begini begitu, entah berkeinginan memaksa diri sendiri maupun orang lain. Lantas apakah yang akan terjadi, jika sesuatu yang bukan wilayahnya diperuntukkan untuknya? Kaifa? Bagaimana mungkin bisa menembus benteng kekuasaan Tuhan? Akhirnya, apakah yang ia peroleh merupakan suatu keberhasilan? Bukan! Melainkan kekecewaan. Karena hal yang bersifat memaksa atau mengatur, ini memiliki hasrat dan ego yang tinggi. Jika dilogika hasrat dan ego manusia saat memiliki kehendak sulit untuk disetir atau dikendalikan, apa pun yang dikehendaki harus terpenuhi dan harus berhasil tanpa memikirkan kausalitas pada akhirnya. Dalam hal ini Ibnu Atha’illah memberikan penjelasan dengan ungkapan:

سوابق الهمم لاتخرق أسوارالأقدار

"Menggebunya semangat itu tidak dapat menembus benteng takdir"

     Tidak bisa manusia melawan arus takdir yang sudah dikehendaki Tuhan, karena takdir sudah tertulis di lauh al-mahfudz. Sehingga mau bagaimana pun takdir tidak bisa dilawan. Tetapi jangan terputus sampai di sini, manusia juga memiliki hak kewajiban untuk meminta kepada Tuhan. Allah SWT berfirman dalam QS. Ghafir/40 ayat 60:

 . . .أدعوني أستجب لكم. . .

“. . . Memintalah kalian kepada-Ku, maka Aku kabulkan permintaanmu, . . .”

     Kata-kata tersebut direlevansi agar tidak menjerumus dalam kesalahan menafsirkannya. Kita tidak boleh berasumsi seperti ini; “Sudahlah, takdir kita telah ditetapkan begini. Tak usahlah kita repot-repot begini begitu”, persepsi tersebut tidaklah baik. Yang namanya keinginan juga harus dilaksanakan, tidak boleh stagnasi begitu saja. Ungkapan tersebut bermaksud untuk tidak banyak berekspektasi yang tidak masuk akal.

Source: https://pin.it/1aFGswc

     Manusia memang diberi kebebasan untuk mendambakan apa yang ia inginkan agar bisa terwujud. Memang itu sudah sebuah regulasi dari sana-Nya agar manusia mengakui bahwa dirinya adalah seorang hamba yang butuh dengan-Nya. Tetapi jangan sampai melupakan dengan yang memberi wujud atau kehendak yaitu hanyalah Tuhan semata. Agar ketika hal yang diinginkan tidak tercapai, kita tidak berpotensi terjadinya sempit pemahaman terhadap-Nya. Kebanyakan besar dari kita melupakan siapa yang mengatur segalanya, sehingga pada endingnya manusia merasa menjadi Tuhan, yang berkehendak dan mengatur.

     Pada dasarnya manusia diberi kenyamanan untuk tidak usah terlalu banyak mengatur. Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari memberi tambahan wawasan lagi terhadap manusia agar tidak memaksa atau mengatur yang bukan wilayahnya.

أرح نفسك من التدبير ،فما قام به غيرك عنه لاتقوم به أنت لنفسك

“Istirahatkanlah dirimu dari kesibukan mengatur (kebutuhan dirimu). Apa-apa yang telah dijamin oleh selain kamu (yaitu Allah SWT), tidak perlu engkau ikut sibuk memikirkannya.”

     Dalam artian tersebut Ibnu Atha’illah as-Sakandari memberi nasihat agar akal fikiran manusia menjauh dari mengatur dirinya supaya tidak lelah dan menjadikan sempit hatinya. Istirahatlah, sudah ada produser yang membuat skenario. Jadi jangan ikut-ikutan untuk mengaturnya.

     Sekarang kita memahami secara eksplisit dari ungkapan tersebut, misal kita contohkan seorang anak kecil yang kebutuhannya semua sudah ditanggung oleh orang tuanya. Mulai dari makan, minum, mandi, memakai baju, dll. Tidak usah ia memikirkan kebutuhannya, toh memang bukan jatahnya. Coba kalau saja ia memikirkan kebutuhannya apakah mungkin bisa? Apakah mampu? Tentu hal tersebut memang bukan wilayahnya. Dan coba lihatlah saat ia sudah terpenuhi hak-haknya! Apakah ia mengeluh? Apakah ia kecewa? Tidak. Yang terlintas di raup wajahnya hanya kesenangan-kesenangan, sebab ia tidak memaksa mengatur kehendak ketika sudah ada yang mengatur.

     Ketahuilah, sesungguhnya manusia dijadikan Tuhan sebagai insan yang lemah, di situ lah letaknya manusia tidak memiliki sifat kehendak dan yang punya sifat tersebut hanyalah Tuhan semata. Ketika kita mempunyai keinginan lakukanlah, tetapi setelah itu kita kembalikan kepada yang berhak mengkehendaki.

أنا أريد وأنت تريد والله يفعل ما يريد

“Saya berkendak, kamu berkehendak, tapi Tuhan yang mengatur kehendak tersebut.”

Allah SWT juga berfirman dalam QS. al-Buruj/85 ayat 16:

 فعال لما يريد

“Mahakuasa berbuat suatu perkara yang Dia kehendaki”

     Tak jarang lagi kita berupaya memaksa orang lain untuk bertindak sesuai kehendak yang kita mau. Mengindikasikan manusia itu seperti halnya Tuhan, dia senangnya mengatur, mengatur dan mengatur. Padahal ketika orang yang diatur tersebut tidak bisa mewujudkan apa yang diinginkan, maka ia akan marah dan akhirnya menjadikan ia sempit hatinya. Terlebih ketika manusia menginginkan orang lain agar seperti dia, apakah bisa? Padahal manusia itu memiliki porsi kemampuannya sendiri-sendiri. Anehnya begini, dia mengatur orang lain begini begitu, tetapi ia tidak bisa memberi kapasitas dirinya menjadi yang dikehendaki. Untuk apa dia repot-repot mengatur orang lain? Selaras dengan perkataan:

أنت لم تجد من نفسك كلما تريد فكيف تريد من غيرك كلما تريد

“Kamu dengan kapasitas kamu sendiri tidak bisa mewujudkan semua yang kamu kehendaki, bagaimana mungkin kamu berharap kepada orang lain agar bisa mewujudkan keinginanmu.”

     Terdapat cerita dari sepasang orang tua yang mencurahkan isi hatinya kepada Nabi Muhammad saw.:

“Ya Rasulallah… Anak yang saya cintai akan saya berikan uang yang paling banyak di antara anak saya yang lainnya. Sebab saya sangat mencintainya, dan tidak terlalu menyukai terhadap anak yang lainnya.”

Lantas Nabi saw. menjawab dengan jawaban yang menggelakkan, “Lalu engkau ingin mereka semua ini baik kepadamu, atau hanya yang engkau senangi saja yang baik kepadamu?”

Orang tersebut menjawab, “Tentu tidak, mereka semua harus baik kepadaku, karena mereka semua adalah anak saya.”

Nabi berkata, “Kalau begitu ya tidak usah seperti itu. Jadilah orang tua yang adil, dan fair semua diratakan sama. Lawong ingin dihormati oleh semuanya, ya harus disayangi semua, tidak pilih-pilih, kasian yang lain.”

     Dari cerita tersebut mengarah bahwa anak saja termasuk orang lain, jadi ketika mengatur orang lain memang diberi kewenangan, sebab untuk memberi petunjuk pada suatu kemaslahatan. Tetapi sesuai dengan kapasitas porsinya masing-masing dan jangan terlalu memaksa orang lain harus begini begitu dan seterusnya.

     Secara garis besar memaksa kehendak diri dan orang lain boleh-boleh saja, tapi dengan tatatan yang efisien, dan setelah dirasa cukup keinginan tersebut, kita pasrahkan guna menghindari sifat otoriter. Kembalikan hak prerogatif kepada yang berkehendak yaitu Tuhan Yang Mahaesa, sehingga tidak menjadikan sempitnya hati untuk bisa memahami ke-Esaan Tuhan. Dan supaya hati tidak diperbudak oleh hasrat dan ego saja. Yang namanya ikhtiar itu tetap, karena perwujudan sebagai hamba dan tata cara berakhlak kepada Tuhan. Manusia mempunyai rencana, Tuhan yang menentukan.

أفوض أمري الى الله

Wallahu a’lam



Editor: Niken Larasingtyas

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diklat Dan Raker Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir Periode 2023-2024

"TERWUJUDNYA HERMENEUTIKA, SEBAGAI PENAFSIRAN YANG MEMBERI PANDANGAN LEBIH BESAR"

HERMENEUTIKA (Sejarah, Aliran- Aliran, dan Tokoh-tokoh Hermeneutika)