Siapkah Telinga Kita Menerima Kebenaran?
Oleh: Moh. Munib Zuhdi |
Source: https://pin.it/61pf3gd |
Jika kita mau i’tibar kembali perjalanan historis umat manusia mulai dari dulu hingga sekarang, kita akan mendapati banyak sekali pergolakan, pertentangan, dan perebutan (atas nama) “kebenaran”. Kebenaran yang mutlak seakan-akan tidak cukup hanya dipeluk dan diyakini, melainkan harus dipertaruhkan, dikukuhkan, dikontestasikan, dan selanjutnya dijadikan alat kekuasaan agar bisa memenangkan apa yang ia inginkan.
Sehingga seringkali atas nama kebenaran yang mutlak segalanya harus dibayar dengan darah, nyawa, bahkan tidak jarang berakhir dengan perang terbuka. Biasanya kebenaran yang diucapkan seseorang belum tentu benar dalam persepsi orang lain. Banyak telinga yang ingkar dalam menerima kebenaran yang mutlak tersebut.
Alkisah terdapat seorang Sufi yang ditanya oleh Raja tentang kebenaran. Namun setelah mendapat jawaban, Raja tersebut enggan menerimanya. Sang Raja berencana akan membunuh seorang Sufi tersebut dikarenakan sang Sufi mengutarakan kepada sang Raja tentang kebenaran yang haq.
“Katakanlah padaku satu kebenaran, wahai Sufi”, demikian pinta sang Sultan kepada seorang Sufi.
“Mampukah telingamu mendengarkan kebenaran? Suara kebenaran melebihi suara petir yang ada di siang hari, selaput telingamu bisa terkoyak,” jawab sang Sufi.
“Apa gunanya sepasang telinga yang tidak mampu mendengarkan kebenaran? Biarlah selaput telingaku robek, aku tetap ingin mendengarkan kebenaran,” jawab sang Sultan.
“Baiklah, suatu saat nanti aku akan datang ke istanamu untuk menyampaikan kebenaran, jawab sang Sufi.
Selang beberapa tahun kemudian datanglah sang Sufi ke istana Sultan. Begitu diberi tahu tentang kedatangan sang Sufi, sang Sultan pun bergegas menuju gerbang istana untuk menyambut kedatangan tersebut. Turut bersama sang Sultan saat itu sang putra mahkota, putra tunggal Sultan. Mereka menyalami sang Sufi seraya berkata, “Selamat datang, silahkan masuk, wahai Sufi”.
“Tunggu dulu, biarkan aku memberkati putramu terlebih dahulu”, kata sang Sufi. Lalu ia menepuk-nepuk kepala sang putra mahkota sambil berkata, “Kamu akan mati.”
Sang Sultan seperti tidak mempercayai telinganya sendiri. Sehingga ia berkata kepada sang Sufi, “Apa yang baru saja engkau katakan, wahai Sufi? Untuk ini kah kau datang? Untuk mengutuk anakku? Untuk menyumpahinya?”, sang Sultan marah betul, bahkan di antara para menteri ada yang sudah mengeluarkan pedang dari sarungnya.
“Apa yang engkau katakan wahai Sultan? Engkau keliru menginterpretasikan kalamku tadi. Buat apa aku mengutuk anakmu? Buat apa aku harus menyumpahinya? Padahal aku hanya memberikan pernyataan bahwa ia akan mati. Pernyataan tersebut berlaku bagi setiap manusia, bagi setiap makhluk hidup di bumi ini. Yang lahir pasti akan mati. Mengapa engkau seperti itu? Apakah engkau tidak memahami kalam Allah SWT yang berbunyi:
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ
Setiap manusia pasti akan merasakan kematian.
Dan di sini aku hanya menyampaikan kebenaran, wahai Sultan. Padahal engkau pernah menanyakan tentang kebenaran, dan aku datang untuk menyampaikannya. Sultan, rupanya engkau belum siap mendengarkan kebenaran.”
Kisah menarik dari negeri sufi tadi pada dasarnya merupakan pembelajaran bagi kita umat beragama. Siapkah telinga kita menerima kebenaran? Mendengar tantangan ini segera saja setiap orang akan berteriak “Siap”. Namun benarkah demikian? Apabila diangan-angan dan dilihat secara kasat mata pasti tidak semua orang akan mampu menerimanya, mungkin hanya beberapa saja.
Sekarang mari kita analogi, siapkah kita menghadapi kenyataan bahwa kiyai kita, lembaga fatwa yang kita percaya, organisasi keagamaan yang kita ikuti, dan tidak terkecuali juga diri kita sendiri, pada esensinya adalah individu atau kelompok yang tidak lepas dari kesalahan dan kelalaian. Sebab manusia diartikan dari bahasa Arab dari kata insan yang artinya lalai. Juga tentu saja banyak lupanya.
Siapkah kita menghadapi fakta bahwa yang telah kita yakini selama ini sebagai “pasti benar” sebenarnya “mungkin saja keliru”. Siapkah kita mengakui kenyataan-kenyataan bahwa dalam diri orang lain, kelompok lain atau lembaga lain yang berseberangan pemahamannya dengan diri kita terdapat juga sisi-sisi kebenarannya? Kenyataan-kenyataan yang apabila dikatakan bisa membuat “lubangan telinga kita terkoyak”. Kenyataan tersebut memang berat diakui. Padahal dalam firman-Nya, Allah SWT tegas menyatakan agar seorang mukmin menjauhkan diri dari sikap merasa paling benar sendiri atau merasa kelompoknya sendiri yang paling benar, lalu menyalahkan yang lain atau memberi label-label negatif kepada yang lain tersebut. Firman Allah SWT:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. al-Hujurat/49: 11)
Memang manusia cenderung berasumsi bahwa apa yang dia katakan itu benar menurut dia sendiri, padahal belum tentu benar menurut orang lain. Biasanya kita senang menyampaikan suatu hal entah itu benar atau salah ke orang lain, tanpa memikirkan bahwa orang tersebut belum tentu menerimanya. Tetapi ketika kita sendiri diberi tahu tentang kebenaran seakan-akan kita ini mendengarkannya tetapi rasanya di telinga terkoyak habis. Seperti pepatah mengatakan masuk dari telinga kiri keluar dari telinga kanan.
Maka dari itu, sebagai manusia kita harus belajar dan sadar bahwa yang benar belum tentu benar dan yang salah belum tentu salah. Maka ketika ada kebenaran yang disampaikan kepada kita dengarkanlah meskipun telinga kita belum bisa menerimanya. Mungkin saja kebenaran tersebut memang betul-betul kebenaran yang hakiki. Jadilah seseorang yang memang mempunyai kalbu yang mempunyai wadah luas supaya bisa menampung segala perkataan yang mungkin belum bisa telinga kita menerimanya. Inilah sikap ilmiah yang harus kita pegang. Biar menjadi seseorang tidak gampang kagetan dengan perkataan-perkataan yang tidak mengenakkan di telinga kita.
Wallahu A’lam...
Editor: Niken Larasingtyas
Komentar