Abdurrauf al-Singkili

Latar Belakang Pemikiran
Abdurrauf as-Sinkili menolak ajaran tasawuf Wujudiyyah yang berkembang di Aceh sebelum kedatangannya karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam ortodoks. Meskipun demikian, ia menilai tindakan Ar-Raniri terhadap penganut Wujudiyyah sebagai sesuatu yang terlalu emosional. Ia memahami konsep martabat tujuh dengan menekankan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya, berbeda dari kaum Wujudiyyah yang menekankan aspek imanensi. Berdasarkan konsep Nur Muhammad, As-Sinkili menjelaskan bahwa ciptaan berasal dari A’yan Tsabitah dan berbeda dari wujud mutlak Tuhan. Ia berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat dengan menyatakan bahwa hanya Allah yang merupakan wujud hakiki, sementara alam adalah bayangan-Nya. Walaupun alam mencerminkan sifat-sifat Tuhan, seperti hidup dan melihat, Allah tetap berbeda secara hakikat dari ciptaan-Nya.
Sikap Abdurrauf terhadap Tasawuf Wujudiyyah
Konsep Wahdat al-Wujud terdiri dari dua
kata, yaitu Wahdat (kesatuan) dan al-Wujud (ada), sehingga berarti “kesatuan
wujud”. Konsep ini dianggap berasal dari tokoh sufi Ibn ‘Arabi, meskipun
istilah ini sendiri dipopulerkan oleh Ibn Taimiyah yang justru sangat keras
mengkritiknya. Dalam konteks Aceh, ajaran ini berkembang melalui tokoh seperti
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, sebelum dikritik keras oleh
Nuruddin ar-Raniri.
Abdurrauf menegaskan bahwa alam tetap alam,
dan Khaliq tetap Khaliq. Ia menjelaskan kewajiban mengesakan Allah dan
mengajukan pembuktian keesaan-Nya melalui argumentasi bahwa ketidakbinasaan
alam menjadi bukti keberadaan dan keesaan Allah. Hakikat alam dijelaskan
sebagai sarana untuk mengetahui atau sebagai bukti dari keberadaan Tuhan.
Konsep Tasawuf Falsafi Abdurrauf As-Sinkili
Dalam menjelaskan pandangan tasawuf
falsafinya, Abdurrauf mengutip karya Ibn ‘Arabi dalam Fusus al-Hikam dan karya
Abdurrahman al-Jami. Dalam kutipannya dari Fusus, Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa
potensi manusia pada hakikatnya adalah bayangan Allah, bukan selain Dia.
Abdurrahman al-Jami menambahkan bahwa potensi tersebut baik dalam bentuk pola
dasar luar (A’yan Khariijiyyah) maupun pola dasar yang tetap (A’yan Tsabitah),
adalah bayangan dari zat Tuhan.
Dalam kitab Bayan Tajalli, Abdurrauf
menulis: “Bermula adalah segala sifat yang tujuh pada kita ini bayang-bayang
bagi segala sifat Haqq Ta’ala yang telah tersebut itu seperti wujud kita
bayang-bayang bagi wujud-Nya. Maka bayang-bayang itu tiada ia Maujud melainkan
dengan yang empunya bayang-bayang.” Ia tetap memakai istilah Wahdat al-Wujud,
namun pengertian dan pemaknaannya berbeda dari konsep yang dikemukakan oleh
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani.
Perbandingan dengan Tokoh Lain
Menurut Oman Fathurrahman, reinterpretasi
Abdurrauf tentang Wahdat al-Wujud tidak dapat dilepaskan dari konteks
kontroversial di Aceh. Sedangkan, Hamzah Fansuri menekankan imanensi dan transendensi
Tuhan secara mutlak, dengan menganalogikan hubungan antara Tuhan dan alam
seperti biji dan pohon—dua entitas yang tampak berbeda, namun hakikatnya satu.
Abdurrauf memilih jalan moderat dengan menjaga keseimbangan antara aspek
metafisik dan batasan syariat. Ia berupaya mengharmoniskan pemikiran sufi
tingkat tinggi dengan akidah Islam yang ortodoks.
Telaah Pustaka
Beberapa penelitian yang relevan dengan
pembahasan ini antara lain:
- Roni Faslah meneliti pemikiran tasawuf Abdurrauf As-Sinkili yang menekankan pembinaan akhlak, seperti sabar, tawakal, dan ikhlas, serta pentingnya mengikuti sunnah Nabi. Ajaran ini praktis dan mudah diterima masyarakat.
- Taufik Kurahman menunjukkan bahwa Abdurrauf juga mengadopsi konsep mistik seperti Tajalli dan Ma’rifah secara selektif, dengan tetap menjaga batas syariat.
- Syamzan Syukur meneliti tasawuf mistik Abdurrauf yang disampaikan dalam bahasa simbolik untuk kalangan sufi tingkat lanjut.
Namun, sejauh peneliti lakukan, belum ditemukan penelitian yang secara khusus dan mendalam membahas dimensi tasawuf falsafi Abdurrauf As-Sinkili, terutama dalam konteks perbedaan dengan Wujudiyyah dan pemaknaan ulang Wahdat al-Wujud.
Kesimpulan
Dalam artikel ini, fokus akan diarahkan pada aspek tasawuf falsafi Abdurrauf As-Sinkili, yang belum mendapat sorotan mendalam dalam penelitian sebelumnya. Abdurrauf As-Sinkili mengambil jalan tengah dari perdebatan tasawuf Wujudiyyah di Aceh. Pendekatan ini memperlihatkan usaha rekonsiliasi antara pengalaman spiritual dan ortodoksi Islam. Penelitian ini bertujuan mengungkap kedalaman pemikiran falsafi Abdurrauf dan relevansinya dalam diskursus tasawuf kontemporer.
Penulis:
- M. Fachry Zaim Noor (UNKAFA Gresik)
- Sayu Nabili (IAIN Madura)
- Yowinda Wardatus Sanaya (UIN SATU Tulungagung)
- Andi Nezar (UNIDA Gontor)
- Rifki Hidayat (UNIDA Gontor)
- Rahmatul Safitri Al Akbar (UIN SATU Tulungagung)
- Mohammad Sahal Machfud (UYP Pasuruan)
- Syarifah Awalia Saidah (IAIN Ponorogo)
- Nadia Risnu Anggraini Habibah (Universitas KH. Abdul Chalim Mojokerto)
- Fina Ni'matul Inayah (UIN SATU Tulungagung)
Komentar