Abdurrauf al-Singkili

    Syekh Abdurrauf as-Sinkili (w. 1693 M) adalah ulama besar asal Singkil, Aceh, yang dikenal sebagai mufassir pertama Nusantara dan tokoh penting dalam penyebaran tasawuf serta syariat Islam di abad ke-17. Ia menimba ilmu selama hampir dua dekade di Timur Tengah dari ulama terkemuka seperti Syekh Ahmad al-Qusyasyi dan Syekh Ibrahim al-Kurani, lalu kembali ke Aceh dan diangkat sebagai Qadhi Malik al-Adil oleh Sultanah Safiatuddin. Karya terkenalnya, Tarjuman al-Mustafid, merupakan tafsir Al-Qur’an pertama dalam bahasa Melayu yang kontekstual dan berbasis tafsir Jalalayn. Ia juga menyebarkan Tarekat Syattariyah serta menulis banyak kitab dalam bidang fikih dan tasawuf, menjadikannya tokoh sentral dalam perkembangan keilmuan Islam di Asia Tenggara.

Latar Belakang Pemikiran

    Abdurrauf as-Sinkili menolak ajaran tasawuf Wujudiyyah yang berkembang di Aceh sebelum kedatangannya karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam ortodoks. Meskipun demikian, ia menilai tindakan Ar-Raniri terhadap penganut Wujudiyyah sebagai sesuatu yang terlalu emosional. Ia memahami konsep martabat tujuh dengan menekankan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya, berbeda dari kaum Wujudiyyah yang menekankan aspek imanensi. Berdasarkan konsep Nur Muhammad, As-Sinkili menjelaskan bahwa ciptaan berasal dari A’yan Tsabitah dan berbeda dari wujud mutlak Tuhan. Ia berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat dengan menyatakan bahwa hanya Allah yang merupakan wujud hakiki, sementara alam adalah bayangan-Nya. Walaupun alam mencerminkan sifat-sifat Tuhan, seperti hidup dan melihat, Allah tetap berbeda secara hakikat dari ciptaan-Nya.

Sikap Abdurrauf terhadap Tasawuf Wujudiyyah

    Konsep Wahdat al-Wujud terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat (kesatuan) dan al-Wujud (ada), sehingga berarti “kesatuan wujud”. Konsep ini dianggap berasal dari tokoh sufi Ibn ‘Arabi, meskipun istilah ini sendiri dipopulerkan oleh Ibn Taimiyah yang justru sangat keras mengkritiknya. Dalam konteks Aceh, ajaran ini berkembang melalui tokoh seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, sebelum dikritik keras oleh Nuruddin ar-Raniri.

    Abdurrauf menegaskan bahwa alam tetap alam, dan Khaliq tetap Khaliq. Ia menjelaskan kewajiban mengesakan Allah dan mengajukan pembuktian keesaan-Nya melalui argumentasi bahwa ketidakbinasaan alam menjadi bukti keberadaan dan keesaan Allah. Hakikat alam dijelaskan sebagai sarana untuk mengetahui atau sebagai bukti dari keberadaan Tuhan.

Konsep Tasawuf Falsafi Abdurrauf As-Sinkili

    Dalam menjelaskan pandangan tasawuf falsafinya, Abdurrauf mengutip karya Ibn ‘Arabi dalam Fusus al-Hikam dan karya Abdurrahman al-Jami. Dalam kutipannya dari Fusus, Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa potensi manusia pada hakikatnya adalah bayangan Allah, bukan selain Dia. Abdurrahman al-Jami menambahkan bahwa potensi tersebut baik dalam bentuk pola dasar luar (A’yan Khariijiyyah) maupun pola dasar yang tetap (A’yan Tsabitah), adalah bayangan dari zat Tuhan.

    Dalam kitab Bayan Tajalli, Abdurrauf menulis: “Bermula adalah segala sifat yang tujuh pada kita ini bayang-bayang bagi segala sifat Haqq Ta’ala yang telah tersebut itu seperti wujud kita bayang-bayang bagi wujud-Nya. Maka bayang-bayang itu tiada ia Maujud melainkan dengan yang empunya bayang-bayang.” Ia tetap memakai istilah Wahdat al-Wujud, namun pengertian dan pemaknaannya berbeda dari konsep yang dikemukakan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani.

Perbandingan dengan Tokoh Lain

    Menurut Oman Fathurrahman, reinterpretasi Abdurrauf tentang Wahdat al-Wujud tidak dapat dilepaskan dari konteks kontroversial di Aceh. Sedangkan, Hamzah Fansuri menekankan imanensi dan transendensi Tuhan secara mutlak, dengan menganalogikan hubungan antara Tuhan dan alam seperti biji dan pohon—dua entitas yang tampak berbeda, namun hakikatnya satu. Abdurrauf memilih jalan moderat dengan menjaga keseimbangan antara aspek metafisik dan batasan syariat. Ia berupaya mengharmoniskan pemikiran sufi tingkat tinggi dengan akidah Islam yang ortodoks.

Telaah Pustaka

    Beberapa penelitian yang relevan dengan pembahasan ini antara lain:

  1. Roni Faslah meneliti pemikiran tasawuf Abdurrauf As-Sinkili yang menekankan pembinaan akhlak, seperti sabar, tawakal, dan ikhlas, serta pentingnya mengikuti sunnah Nabi. Ajaran ini praktis dan mudah diterima masyarakat.
  2. Taufik Kurahman menunjukkan bahwa Abdurrauf juga mengadopsi konsep mistik seperti Tajalli dan Ma’rifah secara selektif, dengan tetap menjaga batas syariat.
  3. Syamzan Syukur meneliti tasawuf mistik Abdurrauf yang disampaikan dalam bahasa simbolik untuk kalangan sufi tingkat lanjut.

    Namun, sejauh peneliti lakukan, belum ditemukan penelitian yang secara khusus dan mendalam membahas dimensi tasawuf falsafi Abdurrauf As-Sinkili, terutama dalam konteks perbedaan dengan Wujudiyyah dan pemaknaan ulang Wahdat al-Wujud.

Kesimpulan

    Dalam artikel ini, fokus akan diarahkan pada aspek tasawuf falsafi Abdurrauf As-Sinkili, yang belum mendapat sorotan mendalam dalam penelitian sebelumnya. Abdurrauf As-Sinkili mengambil jalan tengah dari perdebatan tasawuf Wujudiyyah di Aceh. Pendekatan ini memperlihatkan usaha rekonsiliasi antara pengalaman spiritual dan ortodoksi Islam. Penelitian ini bertujuan mengungkap kedalaman pemikiran falsafi Abdurrauf dan relevansinya dalam diskursus tasawuf kontemporer.


Penulis:

  1. M. Fachry Zaim Noor (UNKAFA Gresik)
  2. Sayu Nabili (IAIN Madura)
  3. Yowinda Wardatus Sanaya (UIN SATU Tulungagung)
  4. Andi Nezar (UNIDA Gontor)
  5. Rifki Hidayat (UNIDA Gontor)
  6. Rahmatul Safitri Al Akbar (UIN SATU Tulungagung)
  7. Mohammad Sahal Machfud (UYP Pasuruan)
  8. Syarifah Awalia Saidah (IAIN Ponorogo)
  9. Nadia Risnu Anggraini Habibah (Universitas KH. Abdul Chalim Mojokerto)
  10. Fina Ni'matul Inayah (UIN SATU Tulungagung)
Editor:

    Divisi Literasi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMBANGUN SINERGITAS MELALUI DIKLAT DAN RAPAT KERJA MENUJU HMPS ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR YANG TERINTEGERITAS

HERMENEUTIKA (Sejarah, Aliran- Aliran, dan Tokoh-tokoh Hermeneutika)

FORMAT : TAFSIR AL-QUR'AN TENTANG PERAN PEREMPUAN DI ERA MODERN