Syura Dan Demokrasi Dalam Al-Qur’an Perspektif Al-Dakhil Fi Al-Tafsir




Oleh : Ekasari Imfan Sholikah (IAT 4A)

Istilah demokrasi merupakan topic yang menarik apabila dibahas di era kontemporer ini, terlebih lagi jika ditinjau dari kacamata islam, sebagian dari masyarakat menerima demokrasi karena memahaminya sebagai aktivitas musyawarah, ada pula yang menolak karena dianggap produk barat, ada pula yang mengambil jalan tengah. Dengan demikian, istilah demokrasi merupakan objek pembahasan yang sangat menarik diperbincangkan, khususnya di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini.
Latar belakang munculnya demokrasi sebagai sebuah sistem ketatanegaraan saat ini menjadi jelas bahwasanya demokrasi terlahir dari sekularisme yang menolak campur tangan manusia untuk mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk didalamnya adalah Negara. Selain itu, demokrasi juga murni berasal dari ciptaan dan hawanafsu manusia, bukan berasal dari produk agama samawi manapun.
Syura atau yang dikenal dengan istilah musyawarah dianggap sebagai istilah lain dari demokrasi, artinya musyawarah yang dilakukan oleh rakyat yang diwakili oleh rakyat yang diwakili oleh wakil-wakilnya dibangku parlemen merupakan ruh dari apa yang oleh mereka disebut dengan demokrasi. Demokrasi merupakan kepemerintahan yang memuat konsepsi kehidupan yang menjadikan rakyat sebagai sumber kedaulatan dengan berasaskan sekularisme.
Menurut Al-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib, Syura secara bahasa dimaknai “Mengeluarkan madu dari sarang lilin (lebah)”, yang kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan. Abu Husayn mengungkapkan bahwa akar kata Syura bermakna pokok “Menampakkan atau menawarkan sesuatu”
Dalam memahami kandungan Al-Qur’an tidak dapat dipungkiri, pasti akan adanya perbedaan penafsiran dikalangan mufassir. Produk penafsiran yang tidak bisa lepas dari subyektifitas mufassirnya yang kemungkinan besar memiliki penyimpangan-penyimpangan tafsir dengan indikasi membuat kekaburan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah ayat tertentu atau bahkan bertolak belakang dengan spirit yang dalam Al Qur’an, dari latarbelakang subyektifitas itulah kemudian lahir istilah Al Dakhîl Fi Al Tafsir, yang pertama kali diperkenalkan oleh Ibrahim Abdur  Rahman khalifah melalui karyanya yang berjudul Al Dakhîl Fil Al Tafsir.
Ditinjau dari segi redaksi, kata Al Dakhîl Fi Al Tafsir memuat dua term. Pertama, Al Dakhîl. kata ini berasal dari kata Dakhala yang memiliki makna Masuk, Memasuki, Aib, Penyakit dan berbagai makna yang lain dari turunan lafad Dakhala tersebut, sedangkan istilah Dâkhil dengan sighat isim fail berararti sesuatu yang masuk (Sesuatu yang Asing masuk), penyusup dll. Kedua, Tafsir, Menurut Abu Hayyan sebagaimana dikutip oleh Manna al Qaththan, mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas cara pengucapan lafadz Al Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri maupun tersusun dan makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-lain yang melengkapinya.
Dari sekian ayat yang dipandang sebagai landasan keabsahan demokrasi, penulis akan mengambil dua redaksi lafadz saja, hal tersebut karena keabsahan demokrasi dianggap berangkat dari redaksi lafadz وامرهم شوررى ب نٌهم yang terdapat dalam As syûra (42): 36 ataupun lafadz وشاورهم فى الامر yang terdapat dalam Ali Imran (03): 159.
Surat As syûra (42): 36- 38 yang artinya “Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan Hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orangorang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.  Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.”
Secara Redaksional lafadz وامرهم شوررى ب نٌهم adalah salah satu penggalan ayat dari sebelumnya yang menberikan perincian terhadap sifat-sifat orang yang dijanjikan akan mendapatkan kenikmatan yang lebih baik di akhirat kelak. Sifat-sifat yang dimaksud secara berurutan adalah beriman, bertawakkal, menjauhi dosa besar, menjauhi perbuatan perbuatan keji, apabila marah maka kemudian memberi maaf, patuh terhadap seruan Allah, mendirikan shalat, memutuskan sesuatu melalui jalan musyawarah, menafkahkan sebagian rezeki di jalan Allah. Ayat diatas memiliki satu topik inti yang kemudian dijabarkan dengan beberapa subtopik yang memiliki keterkaitan secara fundamental. Subtopik beriman sampai dengan menafkahkan sebagian rezeki di jalan Allah adalah bagian integral dari sifat-sifat orang yang dijanjikan mendapatkan kenikmatan diakhirat kelak, semua sifat-sifat tersebut adalah sifat-sifat orang yang taat terhadap syariah. Oleh karena itu, ketika orang dipuji karena melakukan musyawarah dalam urusan mereka tentu musyawarah yang dimaksud adalah musyawarah yang berdasarkan ketentuan syariah, bukan malah menjadikan syariah sebagai option (pilihan) seperti yang terdapat dalam demokrasi. Fakta bahwa demokrasi menjadikan syariah sebagai option (pilihan) bukan obligation (kewajiban) memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa demorasi bukan berangkat dari landasan aqidah islam. ditinjau dari teori munasabah maka demokrasi menjadi sesuatu yang kurang pas menjadi tafsir dari ayat yang menganjurkan untuk melakukan musyawarah, oleh karena itu produk tafsir tersebut mengandung Al Dakhîl fi tafsir (penyimpangan dalam tafsir) jika memaksakan demokrasi sebagai tafsir tersebut ditinjau dari aspek munasabahnya.[1]




[1] Ilyas, Ahmad Faidlal, institute ilmu keislaman Annuqayah: Syura Dan Demokrasi Dalam Al-Qur’an Perspektif Al-Dakhil Fi Al-Tafsir Sumenep:  tidak diterbitkan, 2018.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diklat Dan Raker Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir Periode 2023-2024

"TERWUJUDNYA HERMENEUTIKA, SEBAGAI PENAFSIRAN YANG MEMBERI PANDANGAN LEBIH BESAR"

HERMENEUTIKA (Sejarah, Aliran- Aliran, dan Tokoh-tokoh Hermeneutika)